Alkisah pada suatu hari seekor burung
Gagak sedang berterbangan melintasi
Hutan Mejiku. Dia baru saja diusir oleh
kawanannya. Orangtuanya entah di
mana. Ia hidup sebatang kara. Di
dekat danau, ia bertemu dengan
Angsa. Burung Gagak menyapa Angsa
yang sedang berenang di danau itu.
“Hai Angsa, apa yang kau lakukan?”
tanya si Gagak basa-basi.
“Tidakkah kau lihat aku sedang
berenang, wahai Gagak yang jelek?
Jangan memandangku seperti itu. Aku
tahu kau iri dengan keindahan buluku.
Ya, buluku memang putih, bersih,
indah, tidak seperti kau yang hitam dan
kusam.” Ejek Si Angsa. Burung Gagak
merasa sedih. Ia terbang lagi mencari
kawan baru. Di depan sebuah gua, ia
bertemu dengan ular. Ular menjulur-
julurkan lidahnya.
“Hei jelek! Jangan menghalangi jalanku
atau ku gigit kau!” katanya.
Gagak putus asa. Dia menuju ke
sebuah pohon. Hinggap dan
bertengger di dahannya. Ia merenung,
kemudian seekor kupu-kupu
mendekatinya.
“Jangan menghampiriku kalau kau juga
ingin mengejekku,” katanya. Wajahnya
murung.
“Kenapa kau murung? Terbang dan
bermainlah bersamaku,” kata si kupu-
kupu.
“Aku malu,”
“Kenapa?”
“Sayapmu indah. Sangat indah.
Bercorak. Warna-warni, aku merasa
rendah di hadapan kalian, tak ada
sesuatu dariku yang bisa
dibanggakan,” kata Gagak sedih.
“Hatimu. Hatimu putih. Jangan malu,
aku juga dulu begitu. Tahukah kau aku
dulu hanya seekor ulat menjijikkan.
Dan aku telah bermetamorfosis
menjadi kupu-kupu yang disukai
banyak orang. Namun hidupku tak
lama lagi. Di setiap kekurangan akan
ada kelebihan walau sekecil apa pun.
Percayalah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar