“Balon yang lepas tak akan pernah
kembali.”
-Narita airpot 7th of July-
Musim dingin, tahun 2007. Pipi
putihmu merona, matamu berbinar
menerima sebuah kotak kado berwarna
hijau muda dari ibundamu. Setelah
mengucapkan segala rasa terima
kasih, kau membuka kotak tersebut.
Sepasang kaus kaki berwarna biru
muda, sarung tangan berwarna merah
jambu serta topi rajut hangat berwarna
merah menjadi benda yang mengisi
kotak hadiahmu saat itu.
“Aku menyukai kaus kaki!” Jawabmu
semangat ketika ku tanya apa benda
favoritmu.
“Kedengaran aneh. Kau sudah kelas 3
SMP dan benda favoritmu tidak
berubah?” tanyaku heran. Sementara
kau hanya menatapku sambil
tersenyum.
“Suatu hari kau akan tahu,” jawabmu
kemudian.
—
Pada awal musim panas tahun 2007,
kau membuatku termangu. Bola. Kau
membenci… sebuah bola? Bukankah ini
juga aneh? Aku tak pernah tahu
apakah kau membenci bola ini karena
ada suatu phobia yang kau alami, atau
memang karena hal lain. Namun
ternyata jawabanmu meleset jauh dari
dugaanku. “Aku tidak suka bola!”
protesmu saat Takanagi-sensei akan
mengambil nilai keseharian melalui tes
permainan bola basket.
“Kenapa? Kau takut?” tanyaku sambil
menerka-nerka. Kau menggeleng.
“Aku tidak suka bentuknya. Sebagai
sebuah benda yang sering untuk
dilambungkan, bola itu terlalu
sederhana.”
Sementara aku langsung membisu, ada
atmosfir yang berbeda saat kau
mengucapkan dua kata terakhir dari
jawabanmu itu. Apa yang kau maksud?
Wahai semesta, pahamkah engkau
dengan ucapannya? Musim panas ini
terasa makin menyenangkan dengan
tawamu. Bermain air di pantai,
berjalan-jalan di antara gedung
pencakar langit Tokyo, memakan es
kakigori bersama, hingga pergi ke
festival musim panas pada malam
hari. Langit malam bertabur bintang,
memang pemandangan saat musim
panas yang indah, kan? Kita berjalan di
atas jembatan kemudian berhenti
sejenak untuk melihat bulan purnama
menjatuhkan bayangan dirinya di
sungai. Aku selalu berharap
pemandangan seperti ini selalu ada
sepanjang tahun. Dengan orang yang
sama, di tempat yang sama dan
tentunya dengan kebahagiaan yang
tidak kurang sedikit pun.
“Hei, seandainya dunia berakhir besok,
apa yang akan kau lakukan?” tanyamu
memecah keheningan.
“Umm… entahlah,” jawabku singkat.
Bukannya aku tak peduli, tapi aku
memang tidak tahu apa yang akan aku
lakukan. “Kau sendiri, bagaimana?”
tanyaku. “Aku… akan diam saja.” Aku
pun menoleh ke arahmu dengan alis
yang saling bertautan, kau menatap
rembulan dengan penuh arti.
“Tidak ada yang dapat aku lakukan
seandainya dunia berakhir esok hari.
Jadi, aku akan diam sambil berdoa
dengan sungguh-sungguh untuk
kebahagiaan dan keselamatan orang-
orang yang ku sayang. Meskipun kau
melindungi dirimu dengan cara apa
pun tidak akan berhasil, iya kan?”
lanjutmu.
“Sudahlah, jangan bicara yang aneh-
aneh. Berdoa saja semoga masih ada
hari esok. Ayo kita pulang, ini sudah
lewat dari pukul 22.00,” ucapku lalu
mengambil langkah pulang.
—
Musim gugur, tahun 2007 lebih dingin
dari biasanya, bahkan menurutku ini
tidak dapat disebut sejuk lagi. Ada
cafe sederhana di dekat pertigaan,
namun cafe itu letaknya di dalam gang
sehingga tidak banyak orang yang tahu
ada sebuah cafe kecil di sana. Kita
tidak sengaja menemukannya, cafe
dengan gaya klasik sederhana,
furniturenya dominan berwarna putih
dan dihias dengan berbagai tanaman
sulur yang merambat anggun di setiap
tiang. Cafe ini sama sekali tidak luas,
di dalamnya hanya dapat menampung
masing-masing dua meja berkapasitas
4 orang dan tiga meja lain
berkapasitas 2 orang. Cafe ini menjadi
simpanan berbagai kenangan saat
musim gugur tiba.
Aku, kamu, dan secangkir cerita.
Tempat favoritmu bukan di dekat
jendela, bukan pula yang di dekat pintu
cafe. Tapi, di pojokan dengan salah
satu meja yang berkapasitas 2 orang.
Di situlah kau biasa menghabiskan
waktu dengan segelas kopi hitam
favoritmu. Termasuk waktu belajarmu
menjelang ujian 2 minggu lagi. “Hei,
kenapa kau malah pergi ke cafe? Hari
Senin nanti ujian sudah dimulai!”
seruku saat mengetahui ia mengajakku
ke cafe pada hari Sabtu -tepatnya 2
hari lagi menjelang ujian. Namun kau
menghiraukan ucapanku, justru kau
malah menarik tanganku untuk masuk
ke cafe. Cengkeraman tanganmu
begitu kuat, tidak seperti biasanya.
Dapat ku dengar samar-samar
napasmu tak teratur. Hei, apa kau
sedang emosi?
“Satu Americano coffe dan satu vanilla
latte seperti biasa, di meja belakang,”
ucapmu dengan nada datar ketika
memesan menu. Kemudian kau
kembali menarik tanganku menuju
meja biasanya.
“Hei! Kau ini kenapa? Apa yang
terjadi?” tanyaku sambil menatapnya
yang sudah duduk dengan tatapan
kosong di kursi favoritnya. “Aku akan
pindah ke Nagoya akhir musim ini,”
jawabmu.
“A-apa? Ini lelucon musim gugur ya?
Ahaha… ya ampun, kau belajar lelucon
itu di mana?”
“Tachigawa-san, aku serius.”
“…”
Hening. Kami berdua saling
bertatapan, sorot matamu memang
memperlihatkan sesuatu pernyataan
yang sangat serius. Sayangnya
pernyataan ini membuat kenyataan
serta kebahagiaanku berhamburan.
Hatiku kosong, bahkan angin pun dapat
melewati tiap rongga dengan bebas.
Ketegangan suasana di antara kami
terpecah sejenak saat seorang pelayan
membawakan pesanan kami. Aku
menarik kursi, kemudian duduk tepat
berhadapan dengannya yang sedang
meminum kopi. “Kau pindah ke
Nagoya hanya untuk liburan musim
semi, kan?” tanyaku sambil menyesap
secangkir vanilla latte.
“Aku sungguh pindah. Aku akan
menghabiskan sisa hidupku di sana.”
“Tapi… kenapa harus akhir musim ini?
Ha? Bahkan sekarang ini sudah
pertengahan musim gugur! Kenapa kau
tidak memberitahuku sejak awal?”
“Maaf, aku terlalu banyak berpikir.”
“Bahkan untuk memberitahu hal
sederhana seperti ini pun kau perlu
berpikir lama?”
“Ini tidak sesederhana yang kau lihat!
Aku butuh banyak pertimbangan, aku
tidak boleh egois. Aku tahu kau
menyukai musim gugur, terlebih lagi
musim gugur tahun ini warna daunnya
sangat indah! Aku selalu menunggu
saat yang tepat untuk memberitahu ini
kepadamu supaya kau tidak terluka.
Tapi aku sadar, kesempatan itu tak
akan pernah ada. Cepat atau lambat
kau pasti akan mengetahui
kepindahanku. Bukankah lebih
menyakitkan jika tiba-tiba aku pergi
dari Tokyo tanpa memberimu informasi
sedikit pun?!”
“Tapi, saat ini pun kau sudah membuat
hatiku kehilangan cahayanya, Furuka-
san!” bantahku.
“Hatiku akan lebih hancur jika harus
merusak senyum bahagiamu ketika
menyambut musim gugur, Tachigawa-
san!!!”
Hening. Kita terdiam, saling menatap
satu sama lain. Napas kita berhembus
tidak beraturan, jantung berdetak lebih
cepat, emosi kita memuncak.
“Apa maumu sekarang?” tanyaku mulai
meredam amarah.
“Tolong, lepas kepergianku ini dengan
senyumanmu, Tachigawa Yui.”
Aku menghela napas berat, gadis ini
benar-benar tidak mengerti.
“Dengarkan aku, Furuka Ami. Mungkin
aku bisa melepasmu dengan ikhlas
seiring berjalannya waktu. Tapi,
sebuah senyuman tak akan pernah
bisa muncul dengan sempurna di hati
orang-orang yang sedang bersedih.
Aku tidak mau menipu perasaanku
sendiri!”
“Aku pasti akan segera kembali!
Berjanjilah kau akan menjemputku di
dermaga pada pertengahan musim
panas.”
“Bagaimana jika kau tidak kembali?”
“Aku pasti kembali! Aku ingin terus
bersamamu.”
—
- Akhir musim semi, awal musim gugur
Tokyo 2008.
Di luar, bulir hujan jatuh bertempo.
Kian detik, meluncur seper sekian
senti di kaca jendela. Menyibak
gorden, menempelkan jemariku di atas
kaca jendela yang dingin. Menghembus
napas penat, seolah protes dengan
takdir. Apa maksudmu dengan kata
‘kembali’? Bukankah ini sudah lewat
dari waktunya? Oh, ayolah bahkan ini
sudah dapat disebut dengan awal
musim gugur! Kau tidak membalas
email, nomor handphonemu pun juga
tidak aktif. Jadi, apa yang harus aku
lakukan? Aku selalu menunggu email
darimu tentang permintaan untuk
menjemputmu di dermaga, tapi apa?
Hasilnya nihil.
Kau pendusta, kau tak pernah
kembali…
Hingga akhirnya aku memutuskan
menyalakan televisi untuk mengusir
kesepian ini, duduk di sofa empuk
dengan kaki yang dibalut kaus kaki.
Ah, ku rasa aku mulai paham mengapa
kau menyukai kaus kaki, ya… rasanya
hangat. Aku pun menyukainya. Aku
pun mulai mengerti mengapa kau
membenci bola. Sebenarnya kau tidak
benar-benar membencinya, kan? Kau
hanya bermaksud menyampaikan
sebuah makna hidup. Bola itu sering
dioper, ditendang, atau bahkan
dilambungkan. Bahkan terkadang
pemainnya tidak peduli dengan kondisi
fisik bola tersebut yang mulai buruk,
contohnya. Yang mereka tahu, asalkan
bola itu sudah tidak dapat dipakai
maka akan dibuang.
Dan menurutku, kau berusaha untuk
mengatakan, “Jangan terlalu hidup apa
adanya, atau kau akan terus
merasakan sakit hingga dianggap
sampah. Jujur mengenai dirimu tidak
selamanya mengenai ‘apa adanya’.”
Pikiranku sekarang berfokus kepada
televisi. Pupil mataku membesar,
memperhatikan setiap baris kata yang
muncul di layar tersebut, telingaku
mendengar secara saksama tentang
apa yang dilaporkan sang reporter.
Apa-apaan ini? Apa maksud
semuanya?!
“Aku pasti akan segera kembali!
Berjanjilah kau akan menjemputku di
dermaga.”
“Bagaimana jika kau tidak kembali?”
“Aku pasti kembali! Aku ingin selalu
bersamamu.”
Gelombang tsunami besar menimpa
Nagoya seminggu yang lalu, 75% orang
tewas dalam musibah tersebut,
sementara sisanya luka-luka. Aku lebih
tercengang ketika melihat daftar
korban yang sudah diidentifikasi,
sebuah nama diurutan 23 berhasil
membuat mataku terbelalak.
23. Furuka Ami, 16 tahun
Air mataku langsung mengalir deras,
membuat mataku merah dalam
hitungan menit. Kau tak pernah
kembali, kepadaku. Kau langsung
kembali kepada-Nya? Kini aku terdiam,
mematung di hadapan televisi yang
baru saja menampilkan namamu. Aku
berusaha meyakinkan diriku sendiri
bahwa itu Furuka Ami yang lain! Tidak,
itu bukan kau Ami. Itu… bukan kau!
Handphone-ku berdering, sebuah
pesan singkat dari Fujiyama, Keito,
Aika, dan yang lainnya. Dari orang-
orang yang berbeda, namun isi pesan
mereka sama… “Mengucapkan duka
cita atas kepergianmu, Ami.”
Dan pada akhirnya, aku tidak dapat
membohongi diriku sendiri. Aku
memang (terpaksa) menerima
kenyataan perih akibat waktu yang
terus merahasiakan masa depan. Aku
tak akan ingin melepas seseorang lagi!
Sungguh! Karena balon yang telah
lepas tak akan pernah kembali,
kalaupun balon itu kembali, balon itu
sudah tak berisi apa pun lagi. Mulai
sekarang, cerita 4 musimku akan
selalu diselimuti kerinduan. Selamat
jalan, sahabatku. Aku pun akan segera
kembali. Karena aku ingin selalu
bersamamu…
-Tokyo, musim gugur tahun 2009-
Cerpen Karangan: Mayza Chonilla
Blog: Maylittlenotes.blogspot.com
Lahir di Kebumen, 18 Oktober 2000
gadis dengan nama pena Mayza
Chonilla ini memiliki banyak harapan.
Ia jatuh cinta pada dunia tulis-menulis
sejak kelas 4 SD, kala itu ia membaca
sebuah novel karya Sri Izzati yang
berhasil membuat lembar baru pada
hidupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar