Rabu, 09 Maret 2016

cerpen. cinta tapi beda

Entah mengapa bayangan akan sosok
lelaki yang beberapa waktu lalu tidak
sengaja ku temui itu, kini terus
terbayang di benakku. Sosok lelaki
dengan perawakan tinggi besar, putih,
serta tatapan matanya yang tajam
namun mampu membuat duniaku
berhenti pada saat itu juga. Siang itu
aku tengah terburu-buru menuju halte
bus. Karena jam kuliah sebentar lagi
akan dimulai, aku pun sedikit tergesa-
gesa untuk mempercepat langkah
kakiku. Namun rupanya hal tersebut
membuatku tidak memperhatikan
jalanan dengan baik sehingga
membuatku hampir saja terjatuh,
namun untung saja ku rasakan ada
sebuah tangan yang dengan berhasil
menyangga tubuhku sehingga aku tidak
jatuh sampai ke aspal. Seketika aku
buru-buru bangun dan kembali
menyeimbangkan tubuhku.
“Lain kali hati-hati ya,” suara itu..
terdengar begitu santun dan perhatian.
Astagfirullah… Apa yang sudah aku
pikirkan. Bukankah sudah sejak tiga
tahun lalu aku memutuskan untuk tidak
memiliki perasaan berlebihan pada
lelaki mana pun sampai aku lulus
kuliah nanti. Namun kali ini mengapa
aku malah merobohkan pertahanan
yang sudah aku bangun selama ini
dengan sekali melihat wajah lelaki
tersebut. Kuat… kuat… batinku saat
itu. Sepertinya sore ini hujan akan
turun, terlihat begitu jelas awan hitam
sudah menggelayut di atas sana,
untung saja aku selalu siap sedia
membawa payung. Tak lama kemudian
hujan pun turun dengan derasnya.
Sudah hampir setengah jam hujan tak
kunjung reda, aku pun memutuskan
untuk menerobos derasnya hujan. Saat
di sebuah persimpangan jalan, aku
melihat lelaki itu lagi. Ia tengah
meneduh dengan baju basah kuyup
dan juga terlihat sangat kedinginan.
Ingin hatiku menolongnya namun aku
tidak mengenalnya, dan apakah
mungkin dia masih mengingatku. Tapi
aku sungguh tidak tega melihatnya
berdiri kedinginan begitu, aku pun
memutuskan untuk menghampirinya.
“Kamu mau pulang denganku?”
tawarku padanya ketika sampai di
sebuah warung yang sudah tutup itu,
tempat di mana ia berteduh.
“Maaf apakah kita pernah bertemu?”
tanyanya sopan.
“Ya! Beberapa hari yang lalu kamu
menolongku, dan aku tidak sempat
mengucapkan terima kasih padamu,
dan sekarang aku ingin membalas
kebaikanmu. Apakah kamu ingin
pulang bersamaku?” tawarku sekali
lagi.
“Oh iya aku ingat, sama-sama. Tidak
perlu, aku bawa kendaraan kok.
Cuma.. lagi mogok aja, jadinya aku
neduh dulu di sini,”
“Tapi kamu kedinginan, oh ini pakai
saja jaketku,” Aku pun melepaskan
jaketku dan memberikannya padanya,
namun ia malah menolak. Sepertinya
hujan sudah mulai reda, aku pun
memutuskan untuk segera pergi dari
tempat tersebut, niat hati yang semula
ingin membantunya pun malah
berbanding terbalik.
“Kalau begitu aku permisi pulang
duluan ya,” ucapku, seraya pergi
meninggalkannya.

Wanita cantik, dengan balutan gamis
dan kerudung yang menjulur panjang
itu datang menghampiriku, setelah
sekian lama aku menunggunya
semenjak kejadian itu. Namun
semenjak hari itu aku tidak pernah
melihatnya datang lagi ke halte bus
tersebut. Semakin hari aku
mengingatnya semakin ingin aku
bertemu dengannya, dan ternyata
Tuhan menjawab doaku, tanpa sengaja
aku bertemu dengannya di sebuah
warung yang sudah ditinggal
pemiliknya. Bodohnya aku tidak
sempat menanyakan alamat rumah
atau namanya malah diam terpaku
melihat parasnya yang sangat anggun
itu. Bagaikan bidadari yang dengan
indah menampakkan kecantikan luar
dalamnya. Semoga aku dapat bertemu
dengannya di lain kesempatan.

Sebuah lantunan ayat suci Al-Qur’an
sedang aku perdengarkan, sesekali aku
ikut membaca ayat-ayat yang indah
itu. Masya Allah, sejuk sekali rasanya.
Sehingga membuatku tertidur dengan
sangat nyenyaknya. Hari ini sepertinya
aku tidak memiliki jadwal kuliah, aku
pun memutuskan untuk pergi jalan-
jalan mencari udara segar setelah itu
pergi ke sebuah toko buku untuk
membeli beberapa buku dan novel.
Lagi-lagi aku bertemu dengan lelaki
tersebut tepat di depan halte bus yang
biasa aku tumpangi, bukankah lelaki
tersebut mempunyai sebuah
kendaraan? Lantas untuk apa sekarang
ia ada di halte bus ini? Ah.. Mungkin
rumahnya tidak jauh dari sini. Aku
tidak mempedulikan lelaki tersebut,
namun ia malah menarik tanganku,
tapi dengan cepat aku menarik
tanganku dari genggamannya.
“Apa-apaan ini!” omelku padanya.
“Maaf, tapi aku ingin berbicara
sebentar denganmu,” ucapnya sedikit
menjaga jarak denganku.
“Ada perlu apa?” ucapku sembari
duduk.
“Sudah lama kita bertemu, namun kita
belum kenal satu sama lain. Kalau
saya boleh tahu nama kamu siapa?”
tanyanya. “Apa sangat penting bagimu,
untuk tahu siapa namaku?”
“Ya.. sangat karena aku mulai
menyukaimu saat pertama kita
bertemu,”
DEG… Apa dia bilang? ‘’menyukaiku
saat pertama kali bertemu?’ Apakah
aku tidak salah dengar? Lelaki yang
baru beberapa hari bertemu denganku,
dengan mudahnya mengucapkan
kalimat seperti itu? “Sepertinya ini
sudah kelewat batas, maaf aku harus
pergi,” aku pun bangun dan pergi
meninggalkan dia seorang diri.

Terlalu cepatkah aku mengucapkan
kata-kata itu? Hari-hari berlalu, aku
semakin tidak dapat membendung
perasaanku ini pada sesosok wanita
yang sangat jarang aku jumpai itu,
wanita yang mampu mengalihkan
duniaku. Walaupun aku baru menyadari
bahwa aku dengannya ternyata satu
kampus namun berbeda fakultas. Ku
coba untuk bertanya pada teman-
temanku yang mungkin mengenalnya,
namun hampir semua tidak
mengenalnya. Siang itu aku melihatnya
bersama dengan seorang teman
wanitanya yang berpakaian yang tak
jauh berbeda dengannya, aku mencoba
mengikuti mereka sampai pada
akhirnya mereka berpisah di ujung
jalan menuju perpustakaan. Aku pun
mencoba untuk bertanya kepada
temannya, dengan segera aku
menghampiri temannya tersebut.
“Tunggu!” teriakku pada wanita itu
ketika ia akan menaiki sebuah tangga.
Perempuan itu menoleh dan bertanya,
“Apakah kamu memanggil saya?”
“Ya, aku ingin bertanya. Siapa nama
wanita waktu yang tadi bersamamu?”
dengan napas yang sedikit terengah-
engah.
“Maksud kamu Aisyah?” tanyanya. Jadi
nama perempuan itu.. Aisyah? Nama
yang cantik sesuai dengan parasnya
yang juga sangat cantik.

Aku pun mencoba menjelaskan
semuanya pada Sarah teman dekat
Aisyah.
“Sebaiknya kamu harus benar-benar
meyakinkan perasaanmu itu, apakah
itu perasaan sesaat atau bukan?
Aisyah adalah sosok wanita yang
cukup disegani oleh lelaki di kampus
ini, tidak jarang pula banyak yang
mencoba mengajaknya ta’aruf namun
ia menolaknya karena dia masih ingin
fokus dengan kuliahnya yang sebentar
lagi akan selesai dan..,” Kalimat
terakhir Sarah menggantung begitu
saja. “Dan apa?” tanyaku penasaran.
“Tidak.. yang terakhir tidak perlu aku
ceritakan. Itu adalah masa kelamnya,
dan yang paling penting jika kamu
benar-benar jatuh cinta padanya,
jangan pernah coba-coba untuk
mengajaknya ‘pacaran,’”
“Tapi… aku bukan seorang muslim,”
ucapku dengan suara yang hampir
tidak terdengar.
“Kalau begitu.. sepertinya kamu harus
mengikhlaskan dia,”

Lelaki itu, kini entah di mana ia saat
ini, aku sudah mendengar semua
ceritanya dari Sarah sahabatku yang
menuntunku sampai sejauh ini.
Semenjak hari wisudaku ia tidak
pernah terlihat kembali, hanya sekilas
wajahnya terlihat dari sekian
banyaknya orang di gedung siang itu.
Ada sedikit perasaan kehilangan saat
aku mengetahui bahwa ia pergi ke luar
negeri untuk melanjutkan pasca
sarjananya itu. Tanpa ada kata
perpisahan atau salam terakhir, lelaki
itu pergi membawa cintanya terbang.

Maafkan aku tidak mengucapkan
salam perpisahan kepadamu, hanya
saja aku semakin takut jika rasa ini
tumbuh dengan suburnya sehingga aku
tidak bisa membunuh perasaanku ini
padamu. Aku berharap kelak kita akan
bertemu dengan status yang sama,
semoga aku mendapatkan hidayahku di
sana. Dio.
The End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar