Sabtu, 12 Maret 2016

surat terakhir

Ia adalah sahabat
sejak kecil bagiku. Tak pernah
terpisahkan oleh apa pun. Bagai
kepompong dan kupu-kupu. Itulah
ungkapan yang tepat untuk
menggambarkan persahabatanku
dengan Fiha. Hari demi hari ku lewati
dengan persahabatan yang erat dan
lekat. Aku dan Fiha pun makin besar
dan dewasa. Usia yang semakin
menua menyebabkan Fiha sakit-
sakitan. Beberapa bulan terakhir ini,
Fiha mulai sakit-sakitan.
Sering ku jenguk dia, entah ke
rumahnya maupun rumah sakit. Tapi,
kali ini adalah saat dimana aku tidak
bisa menjenguk sahabatku. Urusan
perusahaan dan bisnis membuatku
tidak bisa menjenguk Fiha. Ku kira
hanya beberapa hari urusanku itu,
tetapi sampai berbulan-bulan. Tour
dari negeri satu ke negeri lain pun ku
ikuti hanya karena urusan bisnis.
Sudah lama aku tidak berhubungan
dengan Fiha. Syukurlah, urusan
bisnisku sudah selesai. Aku pun
kembali ke kampung halamanku.
Aku teringat Fiha. Saat pertama aku
pergi, yang ku ketahui Fiha ada di
rumah sakit. Rumah sakit tersebut pun
ku datangi. Ternyata Fiha pun telah
dibawa pulang. Aku pun langsung
menuju rumah Fiha. Tapi apa yang ku
terima, Fiha telah meninggal. Adiknya,
memberikan surat kepadaku saat aku
berkunjung tersebut. Katanya itu surat
dari Fiha sebelum meninggal. Ku baca
surat tersebut yang isinya…
“Wahai sahabatku, aku mohon maaf
kalau pertemanan kita hanya di sini
saja. Aku teringat jasa-jasamu yang
telah kau berikan padaku. Aku pun
ingin mengucapkan terima kasih.
Wahai sahabatku, aku menghargai
perilakumu tersebut. Mudah-mudahan
kamu sukses dalam berbisnis. Saat
kau pergi, tidak apa-apa, kau tidak
menjengukku. Perjalanan yang jauh
dan melelahkan tak memungkinkan.
Aku harap kau menikmati
perjalananmu tersebut. Wahai
sahabatku, aku sebenarnya ingin terus
di dunia dan terus melanjutkan
persahabatan kita. Tapi apa daya,
takdir berkata lain. Ajal pun
menjemputku.”
“Tidak usah sedih dan menyesal. Aku
tidak ingin minta yang macam-macam
yang dapat menyusahkan kamu. Aku
hanya ingin doamu dan kamu tetap
ingat padaku. Ku maafkan semua
kesalahanmu padaku yang sebenarnya
tidak ada kesalahan pada dirimu.
Wahai sahabatku, tak usah sedih, kau
pun akan bertemu dan bersahabat
denganku lagi di surga. Tak perlu sedih
karena kehilanganku. Masih banyak
sahabat yang lebih baik dariku
untukmu. Harapan selalu ada wahai
sahabatku.”
Aku pun menitikkan air mata membaca
dan melihat surat ini. Dia
menganggapku tidak pernah berbuat
salah, padahal aku sering berbuat
salah. Dia mengatakan masih banyak
sahabat yang lebih baik darinya,
padahal ku anggap dirinyalah yang
paling baik bagiku. Kalimat untukmu
sahabat, “Selamat jalan sahabatku,
semoga kita dapat berjumpa lagi di
sana.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar