Kamis, 10 Maret 2016

waktu aku dan 8 tahun.?

Siapa bilang waktu itu mutlak? tidak!!
waktu itu relatif, tergantung apa yang
kau bicarakan. Kau bicara rindu maka
sehari itu akan sangat lama, kau
bicara pertemuan, maka sehari bisa
hanya sedetik. Dan jatuh cinta, untuk
soal yang satu ini, waktu bagiku tak
berarti apa pun.
2008.
Aku memulai kehidupan baruku
sebagai murid sekolahan. Baju putih
abu-abu yang katanya melambangkan
kehidupan remaja nan indah. Ya, aku
tak pernah bilang kehidupanku tak
indah, tapi hanya sedikit kurang
beruntung. Namaku Sasa, lebih mudah
dipanggil begitu kata ayah. Usiaku saat
itu masih 15 tahun saat ayah
mengantarku ke sekolah baru.
Seragam putih abu-abu yang
kebesaran karya penjahit amatiran,
sepatu hitam kinclong karena aku sikat
bersih untuk menyambut hari
pertamaku sekolah. Dan seperti
kebanyakan sekolah pada umumnya,
serangkaian kegiatan penyambutan
siswa baru dilakukan 2 minggu tanpa
jeda.
Baiklah kita skip cerita soal
penyambutan siswa baru. Kisah ini
bermula saat aku, Sasa, bocah usia 15
tahun yang seharusnya belajar baik-
baik di sekolah merasakan jatuh cinta.
Aku berkenalan dengannya pertama
kali saat pelajaran sedang
berlangsung, ‘dia’ sangat dekat dengan
teman-temanku sebab duduk di bangku
belakang berjarak satu meja denganku.
Bocah lelaki itu, dengan muka polos
bak malaikat, kulitnya bersih, badan
berisi, dan cukup tinggi untuk anak
seusianya, duduk tak banyak bicara
sejak awal aku tahu tentang “dia.”
Mulanya rasa itu tidak ada, sampai
saat dimana kami memutuskan untuk
lebih dekat demi menjodohkan teman
kami masing-masing. Ya, guyonan ala
anak SMA. Kami sering berkomunikasi
lewat sms (bbm masih langka),
sekedar membahas tentang teman
kami. Hingga pada akhirnya ‘dia’
menyatakan suka padaku.
“Sa, kenapa bukan kita saja yang
dijodohkan?”
Aku hanya membaca tanpa membalas.
Tindakan yang ku sesali hingga
sekarang.
2009.
Pada akhirnya aku memutuskan
menerima “dia.” Namun, semua telah
terlambat. “Kita akan bersahabat
selamanya” begitulah katanya saat ku
tanyakan soal perasaan ‘dia’ padaku
setahun lalu. Dan baiklah, kami
memutuskan bersahabat. Tak terasa
aku sudah kelas 2, dan tahun keduaku
mencintainya. Kami masih sekelas
dengan status persahabatan yang ‘dia’
sematkan, maka seperti itulah yang
kami jalani. Setiap hal yang terjadi di
kehidupanku, ‘dia’ orang pertama yang
tahu.
“Jangan!! dia orang jahat, nggak usah
kamu terima.” kalimat yang dilontarkan
saat aku bilang ada kakak kelas yang
menyatakan suka padaku. “Jangan
menangis, semua akan baik-baik saja.
Aku akan membantumu.” katanya saat
aku kehilangan tugas fisika yang harus
dikumpulkan hari itu.
“Ayo beli es krim, Sa!”
“Jalan yuk, Sa!” jawabannya setiap kali
aku bilang padanya moodku buruk
sekali.
Dan saat salah satu teman sekelas
kami menyukaiku ‘dia’ bilang pada
teman kami yang lain bahwa, “aku
akan mengalah.”
2010.
Tahun ketiga ku mencintainya. Ya, aku
mencintainya meskipun orang hanya
tahu kami bersahabat. Bagaimana aku
tidak mencintainya jika semua hal
yang dilakukannya padaku adalah
indah? Saat itu ku kira aku hanya
berimajinasi soal cemburu yang
menggebu ketika ku lihat ‘dia’ bersama
gadis lain. Atau rindu yang mencandu
saat ‘dia’ tak memberi kabar ketika
libur datang. Aaaah, ku rasa aku hanya
over protective pada sahabatku satu-
satunya. Ku buang jauh-jauh soal
pikiran aku masih mencintainya.
2011.
Jenuh. Satu kata yang dapat aku
sampaikan soal penantian. Ini sudah
masuk tahun keempat dan perasaanku
sudah nampak jelas, jelas sekali
hingga beberapa orang menyadarinya.
Kecuali ‘dia’. Dan baginya rasa cintaku
adalah kekecewaan terbesar dalam
hidupnya. “Aku hanya menganggap
Sasa teman, kenapa dia tidak
mengerti?” katanya pada temanku saat
namaku disinggung dalam
pembicaraan mereka. Bagaimana
denganku? tentu saja aku hancur, saat
cintamu ditolak, apa kau akan baik-
baik saja? rasanya seperti kau sedang
didorong ke jurang dan tak bisa
merangkak naik. Aku menangis
sekencang yang aku bisa. Sendirian.
Ku tutupi tubuhku dengan selimut
tebal. Ku pukul dada kiriku yang terasa
sesak dengan harapan bahwa sakitnya
akan mereda. Bahkan menangis
semalaman pun tak mengurangi sedikit
pun luka yang aku rasakan.
2012.
Aku dan ‘dia’ tak lagi punya cerita.
Tidak ada komunikasi, pertemuan, atau
apa pun yang membuat kami dapat
berbicara walau tak berjumpa. Namun
aku masih mencintainya.
Perbedaannya adalah aku hidup di
duniaku dengan ‘dia’ yang hanya
membayang dan ‘dia’ hidup di dunianya
tanpa aku tahu dunia yang seperti apa.
Ini tahun keempatku mencintainya, dan
setahunku tanpa “dia.”
2013.
Kau berharap aku menuliskan apa?
keajaiban? Perasaan cinta bisa
bertahan lama walaupun tanpa bicara,
bukan? ini tahun kelimaku
mencintainya dan tahun keduaku
tanpanya. Masih ingin tahu apa yang
terjadi selanjutnya?
2014.
Seseorang hadir dalam hidupku bak
malaikat penolong. Imo, sahabatku
sejak ‘kepergian’nya ternyata menjelma
menjadi sahabatnya juga. Imo, datang
padaku dengan membawa ‘dia’
kembali. Sedikit demi sedikit dan
pelan-pelan aku perbaiki hubungan
kami yang sempat seperti berkabut.
‘Dia’ membantuku dengan bersikap
seolah kami tak pernah kehilangan
satu sama lain. Kali ini kami bersama
kembali, bertiga, dengan status
persahabatan (lagi). Dan ini masih
tahunku mencintainya, tahun
keenamku mencintainya.
2015.
Hampir setiap minggu kami sisakan
waktu untuk jalan bertiga. Kami sebut
diri kami sahabat, dan kami tak pernah
sungkan bercerita apa pun soal
kehidupan kami. Kecuali soal cinta.
Ya! pada persahabatan kami, cerita
cinta seolah tabu untuk dibicarakan.
Imo, cowok dengan karakter keras
kepala cenderung bercerita semaunya
soal cinta. Seolah ia tak tertarik pada
kehidupan percintaan. ‘Dia’ memiliki
kehidupan keluarga yang rumit
sehingga menarik diri dari cinta. Dan
aku, ini tahun ketujuhku mencintai ‘dia’
dan tak akan ku ulangi menyakiti diriku
dengan mengatakan, “Aku (masih)
mencintaimu.”
Dan ini tahun 2016.
Aku dan ‘dia’ bagai sepasang sepatu,
selalu bersama tak bisa bersatu
(mengutip lagu dari TULUS). Kami
lebih sering jalan berdua sekarang,
sebab Imo telah memilih meninggalkan
kota kami untuk membangun masa
depan yang lebih baik. ‘Dia’ dan aku
mulai saling bergantung satu sama
lain, lebih tepatnya aku bergantung
padanya. Kami bahkan tidak ragu
bergandeng tangan saat jalan berdua,
atau membeli baju couple.
Memberikan barang-barang yang
sama. karena bagi ‘dia’ itu bentuk
persahabatan sejati. Meskipun bagiku
bermakna bahagia sebab aku masih
cinta.
Tahun selanjutnya.. aku belum punya
kisah untuk ku bagikan. Kau, jangan
jadi aku! jatuh cinta dan diam bukan
kombinasi sempurna dalam kehidupan.
Jatuh cinta, persahabatan dan diam,
jauh lebih buruk dari yang bisa kau
bayangkan. Kau harus menikam
hatimu saat hatimu mulai berpikir ‘dia’
mencintaimu. Kau harus menusuk
kepalamu saat ‘dia’ lari-lari di
pikiranmu. Kau harus selalu menjaga
ke’sadar’an bahwa semakin cinta
padanya, kau akan semakin jatuh ke
dalam jurang. Bersiaplah untuk sakit
dan bersusah payahlah untuk
merangkak naik kembali.
Ku mohon jangam jadi aku! biar aku
saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar