Kamis, 10 Maret 2016

untuk sebuah nama..?,,,,,,,,,,,

Si, dengarkanlah kata hatimu. Semua
yang dikatakannya benar! Hidup
bersama seorang penulis sepertiku ini
adalah kesia-siaan. Tak ada guna. Tak
ada harap. Yang ada hanya kelaparan.
Melarat. Sengsara! Jika kau masih
membangkang, datanglah ke rumah
Mas Joni Ariadinata. Lalu, duduklah di
dekatnya. Dengarkanlah ceritanya saat
sedang berkisah tentang Kisah Kasih
Oto dan Wiwik. Agar kau yakin, hidup
bersama seorang penulis benar-benar
menjijikkan.
Tak punya masa depan. Jauh dari
kelayakan! Apalagi kemewahan.
Bagaimana tidak? Makananku saja
jauh dari kata empat sehat lima
sempurna. Kau catat dan dengar baik-
baik saat Mas Joni berkata, ‘Hari ini
indomie, besok sarimi, besoknya lagi
supermi, kemudian popmie: dan kalau
bosan barulah beli nasi bungkus.’
Itulah makanan sehari-hariku, Si.
Seorang penulis yang ‘jancuk’ kata
Sudjewo Tedjo. Dan Asu kata Butet
Kartaredjasa.
Si, ikuti kata hatimu yang telah
memilih Raden Ndoro Bei. Lagi-lagi,
kata hatimu benar. Bersamanya, kau
akan hidup bahagia. Rumah bertingkat
dua. Mobil dan motor berjajar di
garasi. Kolam renang. Makanan orang-
orang Eropa: burger, roti, spageti,
pizza. Dan makanan-makanan Jepang
yang tak ku ketahui namanya. Kalau
kau bosan, bilang saja. Nanti pelayan
Mas Bei akan menyediakan nasi di
meja. Tak lupa telor ceplok
kesukaanmu. Ikan asin. Ayam
panggang. Dan… oh ya, aku lupa. Kau
lebih suka ayam penyet ya? Baiklah,
baik. Langsung saja minta ganti ke si
pelayanmu itu.
Si, biarkan aku sendiri. Di sini. Di
antara cahaya dop 5 watt yang
meremang. Bercumbu dengan bau
kertas, pena, dan tinta. Bahkan,
mengeloni ketiganya. Tenang saja, aku
tak mungkin melupakan harum bunga
mawar yang menjadi kesukaanmu itu.
Terlebih, mawar putih yang keindahan
serta wanginya selalu kau agung-
agungkan. Si, meskipun lebih banyak
waktu ku habiskan untuk kelon.
Dibanding menghabiskan waktu
bersamamu. Percayalah, tak mungkin
ku lupakan semua kenangan
tentangmu. Bahkan, aku masih ingat
suara tawamu. Suara tangismu. Serta
kegenitanmu. Kejahilanmu.
Kemarahanmu. Ceritamu tentang dunia
lain. Hutan larangan. Kunang-kunang.
Semua masih terkenang. Rapi. Indah.
Dan berseri. Tenangkan saja dirimu.
Tak perlu risau. Baik-baik kau di sana
bersama Mas Bei.
Si, mengapa tatapanmu tak lagi
setajam mata elang yang menakutkan?
Malahan, ku lihat tatapanmu itu
semakin sayu. Mengapa Si? Mengapa
suaramu tak lagi sekuat dan setegas
raja hutan? Lebih banyak ku dengar
suaramu parau. Payah kau Si! Si,
bersikaplah seperti malam. Ya, malam!
Bukankah kau sendiri yang pernah
berkata padaku bahwa kau lebih
nyaman ngobrol bersamaku kala
malam tiba? Lantas, mengapa kau
lupa? Sekarang, izinkan aku untuk
membacakan sajak tentang malam
yang menjadi kesukaanmu itu.
Dengarkan ya…
Malam…
Meski ia tak terlihat
Tapi begitu memikat
Hingga bulan dan bintang melekat
Malam…
Tak pernah sekali pun ia muram
Apalagi menyalahkan kehendak Tuhan
Kala membuat siang lebih benderang
Malam…
Adalah bentuk kedamaian
Tak pernah sekali pun ia dendam
Meski setan berkeliling saat ia datang
Dan membuatnya terlihat mencekam
Sekaligus menakutkan
Malam…
Adalah bukti ketulusan
Tak pernah sekali pun ia kecewa
Meski ketenangan yang ia bawa
Dicabik-cabik lolongan serigala
– Cepu, 21 Januari 2016 –
Sajak itu hanya sebagian kecil dari
kesukaanmu yang ku abadikan, Si.
Agar aku tak kehilanganmu. Agar aku
selalu merasakan kehadiranmu di
sisiku. Menemaniku. Memelukku. Dan
kau tahu? Masih banyak kesukaanmu
yang lain yang telah ku tulis di
berbagai lembar kertas. Menghabiskan
beribu-ribu pena dengan berbagai
macam warna: hitam, biru, merah,
hijau, dan kuning.
Selain malam, kau suka permata
bukan? Itu telah ku tulis, Si! Tak hanya
itu, aku juga menulis tentang hutan
larangan. Pepe. Kunang-kunang.
Walang. Kupu-kupu. Sepeda. Angon.
Sari-sari bunga mawar. Bahkan,
kelicikan demi kelicikan yang dilakukan
Sengkuni kepadamu, juga telah ku
catat. Enak saja dia mengusik
ketenanganmu. Merobek-robek
kesenanganmu. Membelenggumu. Aku
tak terima Si. Sungguh, tak terima!
Nanti, akan ku tunjukkan kelicikan-
kelicikan si Sengkuni itu di hadapan
Batara Guru –raja yang menguasai
Kahyangan- agar dia menghukum si
Sengkuni. Biar tahu rasa dia Si!
Si, berbahagialah kau bersama Mas
Bei. Dan, sekali lagi. Biarkan aku di
sini. Menikmati hangatnya kelon
bersama ketiga pacarku yang penuh
kehangatan. Kenikmatan. Surga dunia.
Sembari menunggu keputusan dari
Bathara Guru. Entah menghukumku
dengan melenyapkan namamu di
hatiku. Atau bahkan, menghukumku
dengan mengirim Bisma yang ahli
dalam peperangan untuk menebas
leherku. Mematikanku. Mengirimku ke
Kahyangan. Lalu, menghukumku di
Kawah Candradimuka bersama
Werkhudara. Entahlah Si. Entah! Aku
tak tahu apa yang akan terjadi
selanjutnya. Mungkin, aku perlu
singgah ke rumah Kyai Lurah Semar
Badranaya agar mendapat petuah
bijaknya yang berkata: Wong cilik ora
sugeh bondho nangging sugeh roso -
yang artinya: Orang kecil tidak kaya
harta tetapi kaya hati.
Lalu kemudian, ku datangi kediaman
Cak Nun untuk merobek puisi ‘Doa
Mohon Kutukan’ yang beliau bingkai di
ruang tamunya pada bagian: Jika
syarat untuk mendapatkan
kebahagiaan bagi manusia adalah
kesengsaraan manusia lainnya, maka
sengsarakanlah aku. Ya, orang kecil
yang sok jadi penulis sepertiku ini
memang pantas untuk sengsara di
Kawah Candradimuka, Si. Dan engkau,
layak untuk bahagia. Bahagia bersama
Raden Ndoro Bei. Lalu, menulis kisah
cinta layaknya Rama-Sinta, yang selalu
bahagia. Sekali lagi, bahagia Si! Ya,
Bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar